Selasa, 06 Februari 2018

manajeman kredit dan pembiayaan

MAKALAH
MANAJEMEN KREDIT DAN PEMBIAYAAN
Guna Memenuhi Mata Kuliah Manajemen Aset dan Liability
Dosen : Upia Rosmalinda, M.E.I





Disusun Kelompok 1 :
Annisa Fauziah Rizky (1502100155)
Fariz Aditya Pratama (1502100255)
Galuh Fitriasih (1502100056)
Yudho Septian (1502100319)

Kelas F
S1 Perbankan Syariah


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

2017




A. Pengertian Manajemen Kredit dan Pembiayaan
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak laik yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[1]
Manajemen adalah Seni atau proses dalam menyelesaikan sesuatu yang terkait dengan pencapaian tujuan. (Ernie & Kurniawan, 2005). Menurut pengertian umum, manajemen adalah suatu proses (planning, organizing, actuating dan controling) dalam suatu perusahaan untuk mencapai tujuan. Jadi, Manajemen Pembiayaan/kredit adalah suatu proses (planning, organizing, actuating dan controling) dalam pemberian kredit/ Pembiayaan.
Perbedaan antara kredit yang diberikan oleh bank berdasarkan konvensional dengan pembiayaan yang diberikan oleh bank berdasarkan prinsip syariah adalah terletak pada keuntungan yang diharpkan. Bagi bank berdasarkan prinsip konvensional keuntungan yang diperoleh melalui bunga, sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip bagi hasil berupa imbalan atau bagi hasil.
Dalam artian luas kredit diartikan sebagai kepercayaan. Begitu pula dalam bahasa latin kredit berarti “credere” artinya percaya. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu yang telah telah ditentukan.[2]
Sebelum kredit diberikan, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka bank terlebih dulu mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.
Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dulu akan sangan membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-data fiktif sehingga kredit tersebut sebenarnya tidak layak untuk diberikan. Akibatnya jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan akan sulit untuk ditagih alias macet. Namun, faktor salah analisis ini bukanlah penyebab utama kredit macet walaupun sebagian besar kredit macet diakibatkan salah dalam mengadakan analisis. Penyebab lainnya mungkin disebabkan oleh bencana alam yang memang tidak dapat dihindari oleh nasabah. Misalnya kebanjira atau gempa bumi.
Jika kredit yang disalurkan mengalami kemacetan, maka langkah yang dilakukan untuk penyelamatan kredit tersebut beragam. Dikatakan beragam karena dilihat terlebih dulu penyebabnya. Jika memang masih bisa dibantu, maka tindakan membantu apakah dengan menambah jumlah kredit atau dengan memperpanjang jangka waktunya. Namun jika memang sudah tidak dapat diselamatkan kembali, maka tindakan terakhir bagi bank adalah menyita jaminan yang telah dijaminkan oleh nasabah.

B.     Prinsip – Prinsip Pemberian Pembiayaan
Dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan bank syariah bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah. Di dunia perbankan syariah prinsip penilaian dikenal dengan 5 C + 1 S , yaitu :[3]
a. Character
Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi kewajibannya.

b. Capacity
Yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan.
c. Capital
Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan oleh rasio finansial dan penekanan pada komposisi modalnya.
d. Collateral
Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi , maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.

e. Condition
Bank syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon penerima pembiayaan.

f.  Syariah
Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan dibiayaai benar-benar usaha yang tidak melanggar syariah sesuai dengan fatwa DSN “Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah.”


C.Kredit pada Bank Konvensional
Bank konvensional hanya mengenal satu bentuk penyaluran dana kepada masyarakat, yaitu kredit berbasis bunga. Penentuan bunga berdasarkan time value of money. Dimana setiap uang memiliki cost of fund yang merupakan harga waktu atau the price of time dan bukan harga uang. Artinya, suku bunga sebetulnya merupakan ukuran manfaat waktu. Bunga pinjaman/kredit dihitung berdasarkan berapa bunga dari dana yang berada di bank yang dapat digunakan untuk kredit. Semakin tinggi bunga dari produk simpanan, maka semakin tinggi pula beban bunga yang ditanggung peminjam/debitur. Selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan, setelah dipotong biaya operasional/overhead cost akan menjadi keuntungan/laba usaha bank konvensional.
Bank konvensional akan selalu berusaha mempertahankan margin yang terdiri dari komponen laba dan biaya operasional, sehingga ketika suku bunga simpanan naik, maka suku bunga kredit pun akan naik juga. Pendapatan bank konvensional hanya bersumber dari bunga kredit, Fee dan biaya administrasi atas jasa-jasa lainnya.[4]
Contoh perhitungan kredit :
1)      Perhitungan dengan bunga flat
Cara penghitungan bunga flat bisa dianggap paling mudah dibandingkan dua jenis tipe bunga lainnya. kita dapat menemukan contoh dari penggunaan cara hitung bunga ini umumnya pada kredit kepemilikan kendaraan bermotor atau kredit tanpa agunan. Dalam brosur-brosur iklan kredit kendaraan bermotor, kita akan menemukan kolom-kolom yang menampilkan angsuran yang mesti dibayar tiap bulannya. Angka dalam kolom-kolom tersebut berlaku sampai akhir pinjaman berakhir atau lunas.
Bisa dipastikan cara penghitungan jenis bunga yang dipakai adalah flat atau rata. Di tipe ini, nilai plafon pinjaman beserta bunganya akan dihitung secara proporsional sesuai dengan jangka waktu atau tenor pinjaman.
Untuk memudahkan kita membayangkan penerapan cara hitung bunga flat tersebut, berikut adalah contoh kasus perhitungan dengan bunga flat
Indra mengajukan KTA sebesar Rp120 juta dengan jangka waktu kredit 12 bulan, dan dikenakan bunga pinjaman sebesar 10% per tahun secara flat. Berapakah angsuran per bulan yang harus dibayar?
Data:
Pokok pinjaman: Rp120.000.000
Bunga per tahun: 10%
Tenor pinjaman: 12 bulan
Cicilan pokok:
Rp120.000.000 : 12 bulan = Rp10.000.000/bulan
Bunga:
(Rp120.000.000 x 10%) : 12 bulan = Rp1.000.000
Angsuran per bulan:
Rp10.000.000 + Rp1.000.000 = Rp11.000.000
2)      perhitungan dengan bunga efektif
Nama lain dari jenis bunga yang satu ini adalah sliding rate. Jenis bunga ini biasa diterapkan pada kredit dengan jangka waktu atau tenor yang panjang. Contohnya saat kita mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen (KPA).
Alasan bunga efektif lebih ditujukan kepada kredit jangka panjang karena tenor yang lama membuat pinjaman tidak terburu-buru harus terlunasi, sementara suku bunganya tidak terlalu besar. Ya, suku bunga efektif biasa lebih rendah dibandingkan bunga flat. Inilah yang membuatnya cocok untuk digunakan dalam kredit jangka panjang.
Bunga yang lebih kecil itu didapatkan dari cara hitung bunga efektif yang melihat sisa pinjaman pokok dari debitur. Jika bunga flat melakukan penghitungan dengan mematok nilai pokok pinjaman dari awal pinjaman, berbeda dengan penerapan bunga efektif. Yang dihitung saat kreditur menggunakan jenis bunga ini adalah jumlah utang yang belum terbayarkan tiap bulannya. Jadi kian lama, nilai bunga pinjaman  akan semakin rendah sebab sisa pinjaman  semakin berkurang.
Dari nilai bunganya yang semakin kecil itu, angsuran yang mesti dipertanggungjawabkan tiap bulannya juga semakin sedikit. Berikut adalah rumus untuk menghitung besaran bunga efektif dari sebuah pinjaman.
Jika pada bunga flat, kreditur hanya menghitung pada awal pinjaman untuk menentukan angsuran, pada pinjaman dengan bunga efektif penghitungan akan dilakukan setiap bulan. Ini karena sisa pinjaman tentu akan semakin berkurang tiap bulannya sehingga perlu untuk melakukan penghitungan ulang. Agar lebih memahami cara hitung bunga efektif, berikut adalah contoh kasus yang menerapkan pemakaian jenis bunga yang satu ini.
Dani mengajukan kredit KPA sebesar Rp120 juta dengan jangka waktu kredit 12 bulan, dan dikenakan bunga pinjaman sebesar 10% per tahun secara efektif. Berapakah angsuran per bulan yang harus dibayar?
Data:
Pokok pinjaman: Rp120.000.000
Bunga per tahun: 10%
Tenor pinjaman: 12 bulan

Cicilan pokok:
Rp120.000.000 : 12 bulan = Rp10.000.000/bulan
Bunga bulan 1:
((Rp120.000.000 - ((1-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp 1.000.000
Maka, cicilan bulan 1 = Rp10.000.000 + Rp1.000.000 = Rp11.000.000
Bunga bulan 2:
((Rp120.000.000 - ((2-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp916.667
Maka, cicilan bulan 2 = Rp10.000.000 + Rp916.667 = Rp10.916.667
Bunga bulan 3:
((Rp120.000.000 - ((3-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp833.333
Maka, cicilan bulan 3 = Rp10.000.000 + Rp833.333 = Rp10.833.333
Dan seterusnya, hingga...
Bunga bulan 12:
((Rp120.000.000 - ((12-1) x Rp10.000.000)) x 10% : 12 = Rp83.333
Maka, cicilan bulan 12 = Rp10.000.000 + Rp83.333 = Rp10.083.333
Terlihat ada pengurangan nilai total angsuran dari bulan pertama, bulan kedua, dan seterusnya. Ini karena penerapan bunga efektif yang membuat bunga semakin kecil bergantung sisa pokok pinjaman. Untuk bulan-bulan berikut dengan contoh kasus di atas, hasil penghitungan bunga akan semakin kecil dan total angsuran akan semakin rendah.[5]

D.Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan syariah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga skema yakni bagi hasil, jual-beli dan sewa. Perbedaan bagi hasil dengan kredit konvensional sangat nyata sehingga orang awam sekalipun dapat cepat memahaminya. Return bagi pemilik modal sangat ditentukan oleh apakah proyek yang dibiayainya menguntungkan atau tidak. Dalam bagi hasil, jumlah uang yang dikembalikan kepada pemodal tidak tergantung pada jangka waktu pembiayaan tetapi lebih ditentukan oleh nisbah bagi hasil dan tingkat keuntungan yang terealisasi. Tidak ada kepastian bahwa pemodal akan mendapat untung.[6]
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 butir 12 dinyatakan bahwa: “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Pada Pasal 1 butir 13 UU yang sama dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).


Contoh Pembiayaan Mudharabah[7]
Seorang nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk modal kerja dagangan sebesar Rp 100.000.000 selama 1 thn. Jika situasi ekonomi mampu memberikan return bisnis aktual sebesar 8% dan return bisnis yang diharapkan bank syariah sebagai penyandang dana sebesar 3% . setelah bisnis dijalankan, nasabah mampu mencetak keuntungan bisnisnya selama 1 thn sbb:
Bulan
Pendapatan Usaha
1.       
6.000.000
2.       
7.000.000
3.       
4.000.000
4.       
4.500.000
5.       
5.000.000
6.       
5.500.000
7.       
6.000.000
8.       
5.400.000
9.       
9.000.000
10.   
5.700.000
11.   
4.700.000
12.   
3.500.000

Pertanyaan :
a)         Berapa nisbah yang harus disepakati antara bank dengan nasabah?
b)        Bagaimana distribusi bagi hasil pendapatan antara bank syariah dengan nasabah berdasarkan data tersebut?

Jawaban :
a)         Menentukan nisbah untuk kedua belah pihak yang melakukan kontrak pembiayaan:
Nisbah bank syariah   = 3,2% x 8% x 100%  = 40%
Nisbah nasabah           = 100% - 40%             = 60%
Rasio nisbah antara bank syariah dengan nasabah pembiayaan adalah 40% banding 60%
b)        Menghitung distribusi bagi hasil untuk bank dan nasabah seseuai dengan nisbah dan
pendapatan aktual usaha,sebagai berikut :
Bulan
Laba usaha
Bagian bank
40%
Bagian
nasabah
60%
Cicilan
Pokok
Setoran
1.       
6.000.000
2.400.000
3.600.000
2.400.000
2.       
7.000.000
2.800.000
4.200.000
2.800.000
3.       
4.000.000
1.600.000
2.400.000
1.600.000
4.       
4.500.000
1.800.000
2.700.000
1.800.000
5.       
5.000.000
2.000.000
3.000.000
2.000.000
6.       
5.500.000
2.200.000
3.300.000
2.200.000
7.       
6.000.000
2.400.000
3.600.000
2.400.000
8.       
5.400.000
2,160.000
3.240.000
2.160.000
9.       
9.000.000
3.600.000
5.400.000
3.600.000
10.   
5.700.000
2.280.000
3.420.000
2.280.000
11.   
4.700.000
1.880.000
2.800.000
1.880.000
Total
66.300.000
26.520.000
39.780.000
100.000.000
126.520.000
% dari Hasil Usaha
% dari Modal
0.40
26,52
0.60
39,78

Contoh Kasus Pembiayaan Murabahah[8]
Tuan ali berkeinginan membeli sebuah mobil untuk kepentingan usaha antar jemput anak sekolah. Harga beli mobil sebesar Rp 150.000.000. Pada saat itu tuan ali hanya memiliki dana Rp.50.000.000,untuk mengatasi kekurangan dana tersebut tuan ali menghubungi bank syariah toat untuk mendapatkan pemecahan masalah akibat kekurangan dana tersebut bank syariah menawarkan solusi dengan akad- Murabahah. Bila bank syariah memperkirakan biaya operasi Rp.200.000.000 dalam 1 tahun. Perkiraan jumlah pembiayaan Rp.5 M dan markup yang ditentukan (hanya sekali saja) 10% dari pembiayaan 2 tahun. Bagaima cara penyelesaiannya?
Jawab :
Penyelesaian dengan Harga Jual Efisien
Data pembiayaan:
Harga pokok mobil                         = Rp.150.000.000
Dibayar nasabah(uang muka)        = Rp.  50.000.000
Kekurangan dibayar bank              = Rp. 100.000.000

1)   Hitunglah Cost Recovery
Cost Recovery                    =(Pembiayaan Murabahah/Estimilasi Total
Pembayaran) x Estimilasi Biaya Operasi 1 thn
Cost Recovey                     = (100.000.000/1 M) x 200.000.000 = 40.000.000

2)   Hitung Markup                   = 10% x Pembiayaan
     Markup                               = 10% x 100.000.000 = 10.000.000

3)   Hitung Harga Jual Bank     = Pembiayaan +Cost Recovery + Markup
                                                =  100.000.000 + (2 x 4.000.000  ) + 10.000.000
                                                =  118.000.000

4)   Hitung Angsuran Pembiayaan
Angsuran Pembiayaan        = 118.000.000/24 bln
                                                = 4.916.667

5)   Hitung Total Harga Jual
Total harga jual                  = 150.000.000 + 18.000.000
                                                = 168.000.000

6)   Hitung Margin Dalam Persentase
Hitung Margin dalam %    = Cost Recovery + Markup/Harga jual beli
                                                =[(2 x 4 jt + 10 jt) + 15 jt] x 100%
                                                =[8 jt +10 jt]/15 jt x 100%
                                                = 1,2 %


DAFTAR PUSTAKA

             Kasmir. 2014. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
             BPRS PNM Al-Ma’some. 2004. Kebijakan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Bandung : BPRS PNM Al-Ma’some.
             Muhammad. 2002. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah.
https://blog.duitpintar.com/pahami-jenis-jenis-bunga-kredit-bank-dan-cara-perhitungannya-karena-tiap-pinjaman-berbeda-beda/





[1] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 8.
[2] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 9.
[3] BPRS PNM Al-Ma’soem, Kebijakan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. (Bandung : BPRS PNM Al-Ma’some, 2004), hlm. 7.
[4] http://niia1993.blogspot.co.id/2013/03/pembiayaan-vs-kredit.html
[5]https://blog.duitpintar.com/pahami-jenis-jenis-bunga-kredit-bank-dan-cara-perhitungannya-karena-tiap-pinjaman-berbeda-beda/
[7] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, 2002, hlm.112.

[8] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,2002, hlm.144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar