qowaidul fiqhiyyah
Qowa’id
fiqhiyyah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua suku kata, yaitu
qowa’id dan fiqhiyyah. Qowaid adalah bentuk jamak dari kata qa’idah yang secara
etimologi berarti dasar atau fondasi (al-asas). Jadi qawaid berarti dasar-dasar
sesuatu. Ada dasar atau fondasi yang bersifat hissi (kongkrit, bisa dilihat)
seperti dasar atau fondasi rumah, dan ada juga dasar yang bersifat ma’naw
(abstrak, tak bisa dilihat) seperti dasar-dasar agama.(Andiko:2001,1). Dr Ahmad
asy-syafi’i dalam buku ushul fiqh islami menyatakan bahwa kaidah: “hukum yang
bersifat Universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuan hukum juz’i yang
banyak.”
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari
kata “fiqih” yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi yang berfungsi
sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat
dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para
sahabat.(Usman:2002,96)
Adapun pengertian qawa’id fiqhiyyah,
secara istilah terdapat berbagai definisi, dua diantaranya yang menjadi
pendapat populer:
حكم
شرعي فى قضبة ا غلبية يتعرف منها احكا م ما دخل تحتحا
“ hukum syara’ tentang peristiwa yang
bersifat moyaritas, yang darinya dapat dikenali hukum berbagai peristiwa yang
masuk kedalam ruang lingkupnya.”
اصل
فقهي كلي يتضمن احكاما تشر يعية عا مة من ابواب متعددة قى القضا يا تحت مو ضو عها
“ dasar figh yang bersifat universal,
megandung hukum-hukum syara’ yang bersifat umum dalam berbagai bab tentang
peristiwa-peristiwa yag masuk kedalam ruang lingkupnya.”
Berdasarkan definisi-definisi
diatas, maka dalam memaknai qawaid fighiyyah berkenaan dengan perbedaan mereka
dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulli (menyeluruh/universal)
atau aghlabi (kebanyakan).
Bagi
ulama yang memandang bahwa qowai’id fighiyyah bersifat aghlabi, mereka
beralasan bahwa realitanya memang seluruh qawa’id fighiyyah memiliki
pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap qawa’id fiqhiyyah menjadi
kurang tepat. Sedang bagi ulama yang memandang qowa’id fiqhiyyah bersifat
kulli, mereka beralasan pada kenyataan bahwa pengecualiyan yang terdapat pada
qawa’id fiqhiyyah tidaklah banyak. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa
pengecualian (al-istisna’) tidak memiliki hukum, sehingga tidak mengurangi
sifat kulli pada qowaid fiqhiyyah.(Andiko:2001,6).
Qowa’id
Al-kulliyah yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab,
tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qowa’id yang lalu.
Seperti kaidah : Al-kharaju bin adh-dhaman/ hak mendapatkan hasil desebabkan
oleh keharusan menanggung kerugian.
Sedangkan
mayoritas para ulama fiqih berpendapat bahwa hukum-hukum fiqih itu semua
kembali kepada qawa’id kulliyah yang berjumlah lima: 1. Setiap perkara
tergantung kepada maksud mengerjakannya, 2. Sesuatu yang sudah yakin tidak
dapat dihilangkan dengan adanya suatu keraguan, 3. Kemudhorotan itu harus
dihilangkan, 4. Kesukaran itu mendatangkan kemudahan, 5. Adat kebiasaan dapat
ditetapkan sebagai hukum
Daftar
pustaka
Andiko,Toha.2001.ilmu
qawa’id fiqhiyyah.yogyakarta:Teras.
Usman,Muchlis.2002.kaidah
kaidah ushuliyah dan fiqhiyyah.Jakarta:RajaGrafindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar